Senin, 19 Oktober 2015

Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen

 Hukum Perlindungan Konsumen

PENGANTAR
  • Setiap manusia adalah konsumen. Manusia bagian dari kegiatan pasar. Manusia sebagai pengguna barang dan jasa.
  • Manusia sebagai pengguna barang dan jasa menghendaki kualitas barang dan jasa, sesuai dengan biaya yang dibayar. Namun, kenyataan kualitas barang dan jasa yang dikehendaki, tidak sesuai de- ngan harapan. Begitu juga manusia sebagai konsumen, ia tidak tahu kegunaan dan manfaat barang dan jasa yang dibe- linya. Hal ini mungkin terjadi, karena ia mengetahui barang dan jasa berasal dari iklan, baik melalui media elektronika maupun media cetak.
  • Kondisi tersebut di atas, dapat menimbul- kan kerugian bagi konsumen. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan hukum bagi konsumen, agar tidak frustasi dan marah bila ditipu atau dipaksa menerima barang bermutu rendah atau berbahaya, serta yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh produsen atau pelaku usaha.
  • Perlindungan hukum menyangkut hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut harus seimbang, agar berkeadilan. Keti- dak seimbangan berarti ketidakadilan.
  1. DINAMIKA ORGANISASI KONSUMEN
    • Semenjak pertengahan tahun 1800-an, yakni saat revolusi industri mencapai puncaknya, persoalan konsumen belum serumit sekarang. Jarak konsumen dan produsen masih sangat dekat, pabrik dan pasar masih bersifat lokal.
    • Bila timbul persoalan, maka dengan mudah kita mengadukan pada penjualnya. Tetapi, apabila tidak tercapai kesepakatan dengan gampang atau mudah kita mengadukan kepada penjualnya. Namun, apabila juga tidak tercapai kesepakatan, maka hukuman bagi penjual atau pedagang yang bertingkah laku buruk tersebut, adalah dagangannya tidak laku atau surutnya para langganannya.
    • Itulah gambaran konsumen pada saat itu.
    • Sejarah mencatat adanya masyarakat yang mengorganisir diri demi kepentingannya, yaitu, kaum, Hittites. Kaum ini mengembangkan etika konsumen, yang berbunyi : “ Jangan Kamu Racuni Roti Te- tanggamu “. Makna yang terkandung dari pernyataan ini bahwa bahan pangan itu harus bersih, sehat, dan layak untuk dikonsumsi.
    • Gerakan konsumen tumbuh sebagai kekuatan yang teroganisir dan mandiri sekitar tahun 1930-an. Hal ini dimulai di Amerika Serikat, berkembang pasar bebas yang memang sekaligus membawa potensi merugikan konsumen.
    • Masyarakat mulai menuntut kesesuaian “Nilai Uang”, dengan mutu dan keamanan barang yang harus diterimanya. Masyarakat sangat membutuhkan informasi yang dapat menolong pengambilan keputusan.
    • Sejak tahun 1950-an, di Amerika Serikat, pengujian produk menjadi perhatian utama, dan Consumer Union, merupakan organisasi konsumen, tumbuh sebagai kekuatan yang diperhitungkan.
    • Dengan melakukan pengujian-pengujian atas barang, untuk membandingkan mutu.
    • Dengan harganya, kemudian melaporkan hasilnya lewat media Consumer Report, menjadikan Consumer Union menjadi populer di setiap rumah tangga.
    • Gerakan konsumen, pada tahun 1960-an, mulai menyebar di kawasan Eropa. Organisasi konsumen, di Inggris, Belanda, Denmark dan Belgia, mengikuti model yang dikembangkan di Amerika Serikat, organisasi konsumen tersebut, mengandalkan kegiatan pada pengujian perbandingan (comperatif testing ), dengan menyiarkan hasil-hasil pengujian perbandingan, dengan penerbitannya sendiri. Misalnya, di Inggris terkenal majalah WHICH, di Swis majalah J’Achete Mieux, dan di Australia majalah Choice.
    • Di negara-negara berkembang, gerakan konsumen tumbuh dan menempatkan diri sebagai suatu kekuatan untuk melawan ekspansi global perusahaan-perusahaan multinasional.
    • Gerakan konsumen di Indonesia, berlangsung sejak tahun 1970-an, dengan berdirinya Yayasan Konsumen Surabaya Jawa Timur, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Lembaga Bina Konsumen Bandung, Lembaga Bina dan Perlindungan Konsumen Semarang, dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, oraganisasi konsumen tumbuh menjamur.
    • Gerakan konsumen negara berkembang masih tetap memperhitungkan “ Nilai Uang” dan juga mempermasalahkan “Nilai Manusia”, karena konsumen di masyarakat miskin sangatlah berbeda keadaannya, dan kemiskinan merupakan mayoritas konsumen di negara berkembang. 
    • Hak konsumen yang utama dan pertama adalah hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasarnya, yakni, memperoleh makanan, sandang, kesehatan, perumahan, dan sanitasi.
    • Kesadaran baru akan Nilai Manusia, menambah vitalitas baru, gerakan konsumen secara internasional dan memperbaharui penekanan pada aspek perlindungan konsumen.
    • Pengujian dan pendidikan konsumen merupakan dua hal yang penting bagi gerakan konsumen di negara maju.
    • Standar hidup yang layak bagi konsumen tidak akan terjamin hanya dengan laporan mutu dan harga suatu produk, tetapi harus memperhatikan pelayanan.
    • Anwar Fazal, menyatakan bahwa tindakan membeli adalah andil dalam model ekonomi dan sosial, maupun dalam proses produksi. Kita menuntut kualitas dan kepuasan yang harus kita dapat, tetapi kita tidak boleh mengabaikan keadaan berlangsungnya proses produksi tersebut, yakni, dampak lingkungan dan kondisi kerjanya. Kita tercakup di dalamnya dan karenanya harus ikut bertanggung jawab terhadap maasalah ini.
  2. LANDASAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
    • Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, landasan hukum perlindungan konsumen masih tersebar di berbagai peraturan perundangan. Peraturan tersebut seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, Undang Undang Nomor 5 ahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan lainnya, yang bersifat administratif, sehingga aspek ganti kerugian yang berkaitan dengan tidak seimbangnya hak dan kewajiban para pihak, tidak tercermin dalam perundangan yang ada.
    • Secara teoritis perlindungan konsumen dijumpai dalam hukum perikatan dan hukum pidana. Dalam hukum perikatan seperti tercantum dalam Pasal 1320, 1321, 1328, 1235, 1236, 1504 KUH Perdata dan pasal lainnya. Dalam hukum pidana seperti tercantum dalam Pasal 204, 205, 359. 360, 386 KUH Pidana dan lainnya. 
    • Secara konstektual, pasal-pasal tersebut dapat digunakan untuk melindungi konsusumen, sejauh syarat-syarat yang ditentukan dalam perundangan tersebut terpenuhi. 
    • Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, masih belum ada peraturan yang terpadu mengenai perlindungan konsu- men. Pengertian konsumen baru terbatas pada pembeli. 
  3. FAKTOR PERLINDUNGAN KONSUMEN
    • Seluruh manusia adalah konsumen. Konsumen terbagi dalam konsumen perkotaan dan pedesaan. Perbedaan pola konsumsi, berhubungan langsung dengan akibat dari pemakaian barang dan jasa, di mana konsumen pedesaan lebih banyak dicurangi, karena posisinya lebih rawan di banding konsumen perkotaan. 
    • Bagi mereka yang dirugikan jarang mengadukan permasalahannya ke pengadilan maupun Lembaga konsumen. Sikap tidak melakukan tindakan hukum pada saat mengalami kerugian ini, dilandasi oleh sikap masyara- kat yang lebih suka menghindari konflik, dan biasanya malah mendatangkan keru- gian yang lebih besar. Sikap yang dilakukan biasanya tidak membeli barang pada pedagang atau pengecer, dan merek yang sama. Sikap ini menimbulkan taraf kesadaran konsumen yang masih rendah dan merupakan kendala utama bagi terlaksa- nanya perlindungan konsumen.
    • Budaya nrimo para konsumen hampir menyebar pada masyarakat. Keengganan untuk mempertahankan haknya apabila dirugikan banyak terjadi pada diri konsumen.
    • Usaha yang berat untuk mempertahankan haknya, sementara nilai hasil yang akan dicapai tidak memadai secara ekonomis, hal ini sangat menghambat upaya perlin- dungan konsumen. 
    • Aparat hukum menentukan dalam perlindungan konsumen, karena perundangan yang ada akan tidak bermanfaat apabila tidak didukung oleh aparat hukum.
    • Aparat hukum harus tegas dalam menjalankan tugasnya dan penuh tanggung jawab, dalam mencapai kepastian hukum, keadilan dan kegunaan/kemanfaatan.
    • Partisipasi masyarakat, baik secara individu, maupun dalam ikatan kelembagaan, dalam upaya perlindungan konsumen diperlukan dalam membantu tercapainya tujuan perlindungan konsumen. Partisipasi ini harus disertai dengan perubahan sikap tindak ke arah yang mendukung tercapai-nya tujuan mewujudkan perlindungan konsumen.
    • Pengusaha dan konsumen merupakan pihak-pihak yang saling membutuhkan, maka tidak mustahil diwujudkan suatu aturan main yang dianggap adil bagi kedua belah pihak. Aturan permainan ini diharapkan mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi pengusaha lebih bertanggung jawab dan tidak merugikan konsumen.
  4. SENDI-SENDI PERLINDUNGAN KONSUMEN
    • Polarisasi konsumen dengan pengusaha merupakan conditio sine quanon. Perlindungan konsumen tidak merupakan gangguan terhadap kepentingan pengusaha.
    • Perlindungan hukum terhadap warga negara terdapat dalam Pasal 27 Undang- Undang Dasar 1945, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
    • Dalam perlindungan konsumen,pengusaha mempunyai tanggung jawab mengenai kewajiban, mengenai pelaksanaan hak- hak konsumen. Hak-hak konsumen akan efektif apabila yang punya hak memberikan apresiasi terhadap hak tersebut.
    • Kesadaran sikap terhadap hak-haknya, maka konsumen akan dapat melindungi dirinya secara mandiri.
    • Kesederajatan antara konsumen dan pengusaha, juga faktor perlindungan konsumen. Pengusaha adalah konsumen, produksi tanpa konsumen tidak akan ber- daya guna atau mempunyai nilai.
    • Hal-hal tersebut di atas, merupakan faktor- faktor yang mempengaruhi terhadap perlindungan konsumen.
Sumber Weblog Esa Unggul

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Realted Posts