Membagi Kekuasaan Kehakiman
Dr. Binsar Gultom, SH, SE, MH
Dosen Pascasarjana Universitas Esa Unggul Jakarta
Dosen Pascasarjana Universitas Esa Unggul Jakarta
Dewan Perwakilan Rakyat telah
mengesahkan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim dan kini memasuki
tahap pembahasan oleh DPR serta pemerintah. Rancangan ini akan mengubah
kekuasaan kehakiman sekarang karena membagikan tanggung jawab kekuasaan
kehakiman kepada lembaga lain.
Yang pertama-tama harus digarisbawahi
adalah independensi kekuasaan kehakiman harus dijaga. Mengapa? Pertama,
Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 mengatakan “Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan”, sehingga lembaga ini perlu dijaga sedemikian rupa,
jangan sampai ada pihak lain yang mengintervensi sesuai dengan ajaran
Trias Politica-Montesqueu (sistem pembagian kekuasaan negara). Untuk
menjaga martabat dan wibawa kekuasaan kehakiman itu, pemerintah telah
membentuk sebuah lembaga Komisi Yudisial (KY) sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22/2004
tentang KY.
Kedua, Pasal 24 ayat 2 UUD 1945
menyebutkan “Kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi (MK)”. Dengan dasar ini,
tidak ada landasan hukum sedikit pun bagi pemerintah dan DPR untuk
membagikan tanggung jawab kepada lembaga yudikatif (MA) di luar
kekuasaan kehakiman. Jika pemerintah berkehendak membagikan tanggung
jawab kekuasaan kehakiman selain kepada MA dan MK, menurut penulis, ubah
dulu Pasal 24 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
Diadakannya sistem satu atap lembaga
kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung merupakan kesepakatan
reformasi untuk mengembalikan kemurnian sifat independensi kekuasaan
kehakiman yang mandiri, yang selama ini terabaikan oleh pemerintah. Jika
masih ada produk undang-undang lain yang bertentangan dengan UUD 1945,
undang-undang di bawahnya dengan sendirinya akan batal demi hukum atau
setidaknya bisa dibatalkan lewat pengajuan materiil ke MK.
Buktinya, untuk memurnikan independensi
kekuasaan kehakiman tersebut dari segala campur tangan pemerintah dan
legislatif, termasuk pihak lain, presiden telah mengeluarkan Keputusan
Presiden No. 21 Tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi
dan finansial di lingkungan peradilan umum, tata usaha negara dan agama
ke MA. Yang selama ini dipegang oleh Kementerian Kehakiman (Kementerian
Hukum dan HAM), kini telah dipegang seutuhnya oleh lembaga yudikatif,
yakni MA.
Ada alasan bahwa kekuasaan kehakiman
yang ditumpuk pada satu titik di MA membuat beban berat bagi MA dalam
manajemen hakim dan perkara. Sehingga, idealnya aspek manajemen hakim
dibagi dengan lembaga independen lain untuk mencegah kekuasaan absolut
di satu lembaga. Alasan ini haruslah ditolak karena pembagian kekuasaan
kehakiman tidak menjamin tidak akan ada lagi masalah di lembaga
yudikatif (MA).
Jika kekuasaan kehakiman yang dipegang
MA akan dibagi-bagikan kepada lembaga independen lain, apakah lembaga
yudikatif, seperti MK, atau lembaga legislatif dan eksekutif akan
dibagi-bagikan juga tanggung jawabnya kepada lembaga independen lain?
Lembaga mana di Indonesia ini yang administrasi dan manajemennya
sempurna 100 persen? Hemat penulis, jika ada kekurangan di MA, bukan
berarti lembaganya yang diobok-obok, tapi mari kita berpikir jernih
untuk mencari solusi tanpa harus merombak Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman dan turunannya yang masih berlaku.
Kewenangan kekuasaan kehakiman, baik
secara teknis peradilan maupun administrasi peradilan, dipegang MA yang
memiliki dasar hukum. Pertama, konstitusi dan UU No. 48/2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman serta Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004. Kedua,
putusan MK tertanggal 7 Oktober 2015, yang telah mencabut kewenangan KY
di bidang perekrutan hakim pada tingkat pertama.
Jika pemerintah dan DPR berinisiatif
mengadopsi semangat pembagian kekuasaan kehakiman, seperti dalam hal
perekrutan dan promosi serta mutasi hakim, hemat penulis, campur tangan
dan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman tersebut justru bertentangan
dengan ketentuan Pasal 24 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Dengan demikian,
menyangkut pembagian kekuasaan kehakiman dan usia para hakim yang
rencananya akan diturunkan dan dilakukan periodisasi sebaiknya tidak
perlu dimasukkan ke RUU Jabatan Hakim. Selain perubahan itu akan
bertentangan dengan UUD 1945, hal tersebut akan kontradiktif dengan
putusan MK terkait dengan dikabulkannya usia hakim pajak, tanpa
periodisasi yang telah disetarakan dengan usia hakim tinggi pada
pengadilan tinggi tata usaha negara yang maksimal 67 tahun. Dengan
diturunkannya usia para hakim hingga hakim agung akan berdampak bagi
perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang Peradilan
Umum, Agama, Tata Usaha Negara, dan Militer, yang masih menetapkan usia
pensiun para hakim tingkat pertama pada 65 tahun, hakim tingkat banding
67 tahun dan hakim agung 70 tahun.
Penurunan usia hakim dan periodisasi
setiap lima tahun tidak akan menyentuh persoalan terhadap peningkatan
kinerja para hakim. Hal ini justru akan merosotkan kualitas putusan
hakim karena keahlian para hakim yang bertugas nantinya mayoritas kurang
memiliki kemampuan di bidang teknis perkara. Hemat penulis, yang
menjadi fokus pada RUU Jabatan Hakim ini sebaiknya menyangkut
kesejahteraan dan keamanan para hakim dan status jabatannya sebagai
pejabat negara yang selama ini terabaikan oleh pemerintah.
Sumber : Tempo
Tidak ada komentar :
Posting Komentar